Kebebasan Berpendapat Sebagai Salah Satu Wujud Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam Perspektif UU ITE

Kebebasan Berpendapat Sebagai Salah Satu Wujud Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam Perspektif UU ITE

PENULIS
● Alif Ananda P
● Eason Prisco
● Ella Triana Wirawan
● Fiona
● Jesson Lim
● Mashita Ayuni
● Melson
● Senly


Kemampuan berpikir manusia menyebabkan hasrat untuk menyatakan suatu pendapat dan ekspresi menjadi salah satu ciri manusia. Hak fundamental tersebut digolongkan sebagai hak asasi manusia (HAM) yang diatur oleh konstitusi setiap negara. Menurut Padmo Wayono, konstitusi adalah suatu aturan tentang tata cara berbangsa suatu negara sehingga memberikan gambaran keadaan negara tersebut. Kemunculan suatu konstitusi didasari pada norma dasar negara pada setiap negara yang merupakan cerminan dari nilai dan norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada masyarakat. Di Indonesia, lima butir Pancasila merupakan norma dasar yang menjadi kerangka bagi pembentukan instrumen-instrumen hukum lainnya, termasuk konstitusi negara, yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

UUD 1945 sebagai sebuah konstitusi mengatur secara spesifik mengenai HAM, yaitu pada Pasal 28 hingga 28J. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menyatakan bahwa HAM adalah suatu hak dasar yang melekat pada diri manusia sehingga wajib dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. HAM mengandung berbagai jenis hak dasar yang dilindungi berdasarkan UUD 1945, salah satunya adalah hak kebebasan berpendapat yang diatur dalam Pasal 28E ayat (3). Namun, konstitusi sebagai jaminan hukum tertinggi bagi masyarakat ternyata tidak selamanya melindungi secara penuh. Hal tersebut disebabkan munculnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE dengan pasal karetnya yang menjadi polemik yang tengah hangat dibicarakan oleh masyarakat pada hampir 15 tahun terakhir. Munculnya pasal karet tersebut menimbulkan banyak misinterpretasi yang berujung pada kebebasan berpendapat yang dikriminalisasi.

Lahirnya UU ITE merupakan suatu produk hukum yang berfungsi untuk memayungi perkembangan dunia digital di Indonesia. Eksistensi UU ITE didasari pada tiga alasan, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis. Pertama, landasan filosofis UU ITE adalah untuk mendasari hak yang menjamin perlindungan diri sendiri dan masyarakat, kehormatan, harta benda, dan perlindungan atas rasa aman. Kedua, landasan sosiologis UU ITE adalah untuk mengatasi ancaman yang dapat muncul pada dunia digital mengingat kondisi Indonesia yang masih pada perkembangan awal teknologi digital. Ketiga, landasan yuridis dari UU ITE adalah untuk memenuhi kekosongan hukum telematika di Indonesia.

Pada praktiknya, UU ITE yang berfungsi untuk melindungi kepentingan hukum digital di Indonesia alih-alih digunakan sebagai alat untuk mengekang kebebasan berpendapat. Hal tersebut disebabkan oleh ketentuan yang multitafsir dalam UU tersebut yang kerap disebut dengan pasal karet, salah satunya adalah Pasal 27 ayat (3) tentang defamasi. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk mengemukakan suatu pendapat atau ekspresi yang memuat penghinaan dan/atau pencemaran nama baik seseorang atau organisasi. Berdasarkan Pasal 45 ayat (3) pada perubahan UU ITE disebutkan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat (3) akan mengakibatkan dipidananya pelaku dengan maksimal penjara empat tahun dan/atau maksimal denda Rp750.000.000,00. Ketentuan tersebut pada realitanya menjadi jurang pidana bagi setiap orang yang hendak mengkritik aparat penegak hukum dan politikus.

Kasus Prita Mulyasari pada tahun 2008 silam menjadi salah satu bukti nyata pengekangan kebebasan berpendapat di Tanah Air. Hal tersebut disebabkan oleh tulisannya mengenai keluhan pelayanan di Rumah Sakit Omni Internasional yang diunggah pada mailing list (milis). Pada tulisannya, Ia mengeluhkan bahwa pelayanan pemeriksaan yang diberikan oleh Rumah Sakit tersebut padanya tidak optimal. Selanjutnya, milis tersebut menyebar sehingga diketahui oleh secara luas oleh publik. Kemudian, pihak Rumah Sakit mendakwa Prita Mulyasari atas pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena telah melakukan pencemaran nama baik. Jaksa Penuntut Umum melakukan kasasi atas kasus tersebut kepada Mahkamah Agung dan Prita dinyatakan bersalah pada putusan kasasi tersebut di tahun 2011. Prita kemudian mengajukan Peninjauan Kembali pada MA dan dikabulkan pada tahun 2012 yang membuatnya terbebas dari jurang pidana UU ITE.

Namun, kebebasan berekspresi dan berpendapat memerlukan adanya pembatasan yang dalam hal ini menjadi tanggung jawab negara. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 12 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan Pasal 17 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang menyatakan bahwa batasan ruang berekspresi setiap orang didasari pada alasan keamanan negara secara nasional dan untuk menghormati kehormatan orang lain. Pembatasan tersebut harus dilakukan oleh pemerintah melalui suatu instrumen hukum dalam dan untuk kondisi tertentu. Merujuk pada regulasi yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan HAM yang diatur dalam UUD 1945 walaupun bersifat fundamental, tetapi tidak bersifat mutlak karena terdapat beberapa pembatasan sebagaimana yang diatur dalam hukum positif Indonesia.

Pasal 27 ayat (3) merupakan suatu produk hukum yang menjamin kebebasan berpendapat sekaligus menjadi alat untuk melindungi martabat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pembatasan ruang berekspresi. Batasan yang ada dalam Pasal tersebut adalah bahwa seseorang dapat menyatakan pendapatnya, tetapi pendapat tersebut tidak boleh merendahkan martabat seseorang dan membahayakan keamanan negara. Namun, penggunaan pasal tersebut dalam masyarakat terlalu berlebihan hingga mengurangi hak seseorang dalam menyatakan pendapat. Hal tersebut disebabkan adanya relasi kuasa yang memudahkan pengenaan Pasal tersebut kepada objek balas dendam suatu pihak. Oleh karena itu, aparat hukum memainkan peran yang penting dalam mengatasi kasus-kasus yang berkaitan dengan defamasi dan kebebasan berpendapat yang memerlukan pendekatan holistik agar terwujud suatu win-win solution pada kedua pihak.

Kami mahasiswa dari Universitas Internasional Batam, sadar akan masalah yang terjadi pada lingkungan warga terutama pada pendidikan saat ini.

Dari hasil survei yang telah kami lakukan, kami menetapkan untuk melalukan proyek PASEPRO (Pancasila Social Experimental Project) yaitu dengan melakukan pengabdian kepada masyarakat dengan cara membuat video pembelajaran mengenai salah satu mata pelajaran di SMPS MASHITA BATAM

Pelaksanaan sosialisasi pembelajaran ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang hak asasi manusia dari siswa-siswi dalam kehidupan sehari hari saat ini.kami juga menyiapkan Video yang akan ditampilkan kepada siswa-siswi, lalu videonya akan diserahkan kepada guru yang bersangkutan pada sekolah tersebut.

Berdasarkan hasil kuesioner yang kami sebarkan, kami dapat menyimpulkan bahwa proyek yang kami lakukan cukup efektif dan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap hak asasi manusia dari sebagian siswa-siswi dari SMPS MASHITA BATAM. Tetapi masih terdapat beberapa yang tidak.

Kami sadar betapa pentingnya kesadaran terhadap hak asasi manusia pada zaman milenial ini terutama didalam lingkungan sekolah, yang dimana menjadi cerminan dan tolak ukur seseorang dalam menjalankan kehidupan. Maka dari itu, marilah kita bersama-sama menjadi pelajar yang terus menyebarkan manfaat dari indahnya berpendidikan.

Pemerintah Provinsi Kepri