Laporan: Keliling Sulsel Dua Bulan, Mencengangkan!

Laporan: Keliling Sulsel Dua Bulan, Mencengangkan!

Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)


“Mengulangi konsolidasi masyarakat pesisir: petani garam, petani rumput laut, nelayan, pembudidaya, dan pedagang ikan. Keliling selama dua bulan, hasil mencengangkan. Rerata masyarakat Sulawesi Selatan ingin pemimpin Indonesia dimasa depan fokus perhatikan dan membangun masyarakat pesisir: terdalam dan terluar.”

Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)


Sejak akhir bulan Mei 2022 telah menemui banyak kelompok komunitas masyarakat, seperti: petani, nelayan dan pembudidaya. Sampai akhir Juli 2022 ini, hasil analisa pada basis masyarakat pesisir, bahwa daerah Provinsi Sulawesi Selatan yang paling tinggi dampak wabah covid-19 serta musibah kemanusiaan lain. Masyarakat pesisir Sulawesi Selatan sebagian besar mengalami depresi sosial akibat kesenjangan yang terjadi.

Selain itu, masyarakat yang terdapat di pulau terluar dan terdalam merasakan sulitnya infrastruktur transportasi, jalan, air bersih hingga sandang pangan papan. Perjalanan dua bulan menemui berbagai lapisan masyarakat, cukup menjanjikan berbagai potensi wisata bahari, penangkapan ikan, pengembangan ekosistem lingkungan. Bahkan di banyak tempat: hutan – hutan Sulawesi Selatan terancam akibat persaingan masyarakat dalam kehidupan sosial ekonomi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Maret 2017 – 2020, jumlah penduduk miskin di Indonesia yakni penduduk yang pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan capai 27,77 juta orang atau 10,64 persen dari total penduduk. Pada 2021 meningkat angka kemiskinan ekstrem di Indonesia setelah dilanda krisis pandemi covid-19. Data yang terupdate tahun 2021 di 35 Kabupaten di 7 Provinsi dengan 24 Kabupaten diantaranya berada di wilayah pesisir. Pada tahun 2022, pemerintah perluas cakupan kemiskinan ekstrem di 212 Kabupaten dan Kota di 25 Provinsi dengan 147 Kabupaten dan Kota sama dengan 69,34 persen berada di wilayah pesisir.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021 ini tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia adalah 4 persen atau berjumlah 10,86 juta jiwa dari tingkat angka kemiskinan nasional yang masih sebesar 10,14 persen atau sebanyak 27,54 juta jiwa. Sementara itu, tingkat kemiskinan ekstrem khususnya di wilayah pesisir relatif lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya dan memiliki persoalan yang lebih kompleks. Tingkat kemiskinan di wilayah pesisir sebesar 4,19%, angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata nasional. Dari jumlah penduduk miskin ekstrem sebesar 10,86 juta jiwa, 12,5 persen atau 1,3 juta jiwa diantaranya berada di wilayah pesisir.

Provinsi Sulawesi Selatan saja terdapat kelompok miskin ekstrem di wilayah pesisir yang tidak simultan mendapat jaminan sosial dari pemerintah. Namun, pemerintah Sulawesi Selatan berhasil menurunkan angka kemiskinan menjadi 8,53 persen pada September 2021. Angka ini turun 0,25 persen dari Maret 2021. Dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Selatan, Senin (17/1/2022), Ada penurunan 19.500 penduduk miskin dari rentang Maret-September 2021. Dari total 786.980 penduduk miskin pada Maret 2021, turun jadi 765.460 penduduk miskin di September 2021.

Angka tersebut, tren penurunan secara positif jika dibandingkan September tahun 2020 lalu dengan angka capai 800.240 penduduk. Artinya kini ada penurunan sebesar 0,46 persen. Turunnya persentasenya dominasi penduduk di pedesaan. Begitu sebaliknya, justru BPS update data 2020 – 2021, penduduk miskin di perkotaan justru mengalami kenaikan. Persentase penduduk miskin perkotaan pada Maret 2021 sebesar 4,77 persen naik menjadi 4,89 persen pada September 2021. Sementara persentase penduduk miskin pedesaan pada Maret 2021 sebesar 12,05 persen, turun menjadi 11,55 persen pada September 2021.

Jika dibanding Maret 2021, jumlah penduduk miskin September 2021 perkotaan naik sebanyak 7300 orang (dari 191.500 orang pada Maret 2021 menjadi 198.840 orang pada September 2021). Sementara pada periode yang sama jumlah penduduk miskin perdesaan turun sebanyak 26.900 orang (dari 593.480 orang pada Maret 2021 menjadi 566.620 orang pada September 2021).

Jika dilihat dari garis kemiskinan Sulsel pada September 2021, tercatat sebesar Rp384.455 / kapita / bulan dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp287.467 (74,77 persen) dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp96.988 (25,23 persen). Pada September 2021, secara rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,79 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya garis kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp1.841.539/rumah tangga miskin/bulan.

Persoalan kemiskinan ekstrem di wilayah pesisir juga relatif lebih kompleks, karena kelompok miskin ekstrem di wilayah pesisir memiliki beberapa karakteristik. Pertama, dari aspek demografi, anggota rumah tangga miskin ekstrem di wilayah pesisir lebih besar dibandingkan wilayah lainnya dengan rata-rata umur kepala rumah tangga yang lebih produktif. Kedua, dari aspek pendidikan, kepala rumah tangga miskin ekstrem di wilayah pesisir sebagian besar tidak bersekolah dan hanya lulusan SD.

Ketiga, dari aspek perumahan, kelompok miskin ekstrem di wilayah pesisir memiliki akses sanitasi, air bersih, dan penerangan yang kurang memadai jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. Keempat, ketenagakerjaan sebagian besar memiliki pekerjaan namun terkonsentasi pada kelompok yang berusaha sendiri atau berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap atau tidak dibayar.

Kelima, dari aspek infrastruktur, menurut Wapres akses sistem komunikasi, jasa pengiriman, dan penerangan di wilayah pesisir perlu diperbaiki. Keenam, kerentanan relatif lebih rawan terutama terkait dengan gizi buruk dan keberadaan pemukiman kumuh atau di bantaran sungai. Akses layanan dasar, akses sekitar kesehatan relatif lebih buruk, terutama terkait rumah sakit bersalin dan poliklinik.

Menurut Kissumi Diyanayati dan Etty Padmiati (2017), dalam laporan penelitian yang disajikan dalam tulisannya “Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan di Sulawesi Selatan,” bahwa dimensi budaya berkonstribusi positif dan signifikan dalam membentuk kemiskinan di Sulawesi Selatan, khususnya di Kota Makassar dan Kabupaten Maros. Masih melekat ritual keagamaan yang bercampur budaya gotong royong yang menghabiskan pembiayaan besar seperti acara – acara naik rumah, kegiatan kematian, dan lainnya.

Dengan diketahuinya faktor determinan penyebab kemiskinan di Sulawesi Selatan, intervensi yang dibutuhkan dalam penanggulangan kemiskinan lebih dititikberatkan pada penyadaran masyarakat tentang berbagai kebiasaan yang sudah menjadi budaya dan memberatkan masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Perlu kesadaran sosial tentang hidup hemat, tidak mengada-ada, dan saling menolong semampunya. Perlu diupayakan pula penumbuhan keberdayaan masyarakat untuk terciptanya kemandirian sehingga peroleh pemahaman akan pentingnya mengontrol kekuatan sumber daya sosial, ekonomi, dan politik agar dapat meningkatkan kesejahteraan sosial.

Mengamati saat keliling menemui berbagai komponen masyarakat pesisir: nelayan dan petani, bahwa sebagian besar wilayah pesisir Sulawesi Selatan tahun 2022 ini memiliki permasalahan sosial ekonomi yang sangat kompleks, antara ekosistem darat dan laut belum sepenuhnya terkoneksi secara baik. Apalagi kawasan pesisir Sulawesi Selatan sudah mengalami peralihan (interface area) antara ekosistem laut dan darat yang sudah mengalami pergeseran sehingga berpengaruh pada sifat-sifat laut seperti pasang surut, banjir bandang, sedimentasi, gunung tandus, angin laut, perembesan air laut, abrasi, penggundulan hutan, pencemaran dan maraknya penambang pasir laut secara ilegal sehingga merubah vegetasi alam: laut dan daratan.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, perlu pertimbangan metode Pembangunan wilayah pesisir. Karena kelompok masyarakat pesisir seratus persen menggantungkan hidupnya pada kekuatan sosial ekonomi sumber daya pesisir: laut dan darat. Walaupun data kemiskinan pedesaan menurun, tidak secara otomatis dirasakan peningkatan kesejahteraan pada masyarakat pesisir. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan harus mampu menghapus stigma masyarakat pesisir yang masih terbelakang dan memodernisasi budaya yang terkesan negatif terhadap lingkungan sosialnya.

Studi perbandingan wilayah masyarakat pesisir yang memiliki cara berbeda dalam aspek pengetahuan, kepercayaan, peranan sosial, struktur sosial ekonomi dan geografisnya, seperti pedesaan Kepulauan Sailus yang berada pada wilayah Kabupaten Pangkep. Pulau Sailus sangat dekat jalur perdagangan ekonomi ke Sumbawa (Pulau Sumbawa) dari pada ke Pangkep dan/atau Makassar. Begitu juga, pulau – pulau kecil dibagian barat, selatan dan Utara Sulawesi Selatan juga memiliki keragaman budaya dan struktur sosial yang berbeda dengan pulau – pulau kecil: terdalam dan terluar lainnya.

Pemerintah Sulawesi Selatan perlu gagasan besar dalam upaya perbaikan masyarakat pesisir yang terkesan tidak mempunyai banyak cara dalam mengatasi masalah yang ada seperti kemiskinan, keterbatasan pengetahuan untuk pengelolaan sumberdaya dan teknologi, serta peran aktif pemerintah memodernisasi struktur sosial sehingga bisa menghidupkan kualitas dari kuantitas masyarakat pesisir tanpa melunturkan karakter budayanya.

Pemerintah, peneliti, akademisi, politisi hingga pelaku usaha menyalahkan masyarakat yang hidup di wilayah pesisir dengan stigmatisasi miskin yang di sebabkan oleh persaingan alat tangkap, kapal, usaha dan lainnya. Sala satu misalnya stigma antara nelayan trawl dan nelayan tradisional. Padahal indikator paling ekstrem sebab akibat dari kemiskinan masyarakat pedesaan pesisir yakni korupsi dana desa, korupsi pemerintah Kabupaten dan/atau Provinsi, pelayanan birokrasi, terputusnya komunikasi pemerintah, nirkeadilan seputar hak-hak dasar masyarakat, pelanggaran HAM oleh aparat, penengkapan nelayan, tidak menjamin kebutuhan: pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan inftastruktur.

Disamping itu, pemerintah sangat penting mengatur pola pasar ekonomi masyarakat pesisir. Karena sala satu faktor paling dominan dalam struktur sosial masyarakat pesisir Sulawesi Selatan adalah ketergantungan pada pengepul, juragan, dan pemilik uang atau rentenir. Hal itu yang menyebabkan tidak open market atau tertutupnya kesempatan berusaha bagi individu masyarakat. Ditambah kurangnya akses informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros sehingga selalu minus nilai ekonominya. Hal itu selalu menjadi patron klien yang saling mempengaruhi dan kurangnya nilai timbal balik.

Sekarang dan kedepan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan perlu mendesai solusi alternatif pada pola pendekatan pembangunan. Kalau selama ini, komunikasi tidak efektif. Maka pemimpin daerah Provinsi Sulawesi Selatan mulai dari pejabat teras, anggota DPRD, Partai Politik, Lembaga Swadaya Masyarakat, Pegawai Negeri Sipil hingga struktur birokrasi harus memberi sentuhan pelayanan dan komunikasi yang baik.

Selain itu, penting mendesain roadmap pembangunan infrastruktur dan sumberdaya manusia masyarakat pesisir Sulawesi Selatan yang selama ini terkesan terbelakang. Tentu, tulisan ini representasi dari keliling Sulawesi Selatan selama dua bulan ini. Ya, tidak bisa menyebut data – data angka secara ontime dalam tulisan. Cukup menyajikan garis besar secara umum saja. Tentu jelas, masalah sosial ekonomi, budaya, geografis dan politik di wilayah pesisir Sulawesi Selatan merupakan tugas dan peran semua lapisan pemerintah dan masyarakat yang harus segera diatasi masalahnya. Tentu, solusinya harus baik dan jangka panjang.[]

Pemerintah Provinsi Kepri